Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan
shalat (“iqamat al-shalah”, yakni menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan
menggambarkan bahwa kebahagiaan kaum beriman adalah pertama-tama karena
shalatnya yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan. QS. Al-Mu’minun 23:1-2).
Sebuah hadits Nabi SAW menegaskan, “Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik
pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka rusak pulalah seluruh amalnya.” Dan
sabda beliau lagi, “Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan di
jalan Allah.”
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang
instrumental, dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur bacaannya
maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat dirumuskan sebagai “Ibadah
kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu
yang dibuka dengan Takbir (“Allahu Akbar“) dan ditutup dengan Taslim
(“al-salam-u ‘alaykam wa rahmatu-’l-Lah-i wa barakatah“), dengan runtutan dan
tertib tertentu yang diterapkan oleh agama Islam.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dikukuhkan dengan membaca
doa pembukaan (doa al-Iftitah), yaitu bacaan yang artinya, “Sesungguhnya aku
menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi,
secara hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi muslim
(pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu), dan aku tidaklah termasuk
mereka yang melakukan syirik.” Dilanjutkan dengan seruan, “Shalatku, darma
baktiku, hidup dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam raya; tiada sekutu
bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku termasuk mereka yang pasrah
(muslim).”
Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan melakukan hubungan
horizontal dengan sesama makhluk (kecuali dalam keadaan terpaksa). Inilah ide
dasar dalam takbirat al-ihram. Dalam literatur Islam Kejawen, shalat atau
sembahyang dipandang sebagai “mati sajeroning hurip” (kematian dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal sesama manusia guna
memasuki alam akhirat yang merupakan “hari pembalasan” tanpa hubungan horizotal
seperti pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong ( QS. al-Baqarah 2:48,
123 dan 254 ).
0 komentar:
Posting Komentar